Pages

Sabtu, 21 November 2015

JOMBLOWATI 5. JAMBAN KELUARGA

Apa yang disampaikan Amak tiga jam yang lalu membuat gue tidak bisa tidur. Benarkah gue harus memeriksakan diri gue sama Datuak Sati Pamangku Bumi? Mendengar namanya saja sudah membuat nyali gue ciut. Apalagi kalau sampai ketemu orangnya. Bisa-bisa keluar air kencing di hidung gue. Saking paniknya tuh kencing sampai-sampai salah saluran! Hiii.

Rumahnya juga jauh di pinggir kampung, di kaki bukit. Tepatnya di Tandau. Kalian kalo ke sana bisa-bisa kencing sambil berlari saking seramnya tuh daerah. Duh, gimana yahhh... Gue takut!

Suasana rumah terasa sepi dan sunyi. Amak dan Abak pasti sudah tidur lelap. Karena jam di dinding sudah menunjukkan pukul 23.55. Dimana lima menit lagi akan tepat berada di jam 12 malam. Malam-malam sakral dan dipenuhi dengan muatan-muatan gaib. Para makhluk halus saatnya bangun dan mulai mencari mangsa.

Gue merapatkan selimut tebal yang membungkus tubuh gue. Padahal dulu, jam-jam segini gue tidak ubahnya seperti hantu. Masih wara wiri di dunia gelombang suara. Biasa men, jam-jamnya para kekasih melepas rindu. Telpon-telponan. Karena para provider brengsek itu jahat bener ngasih paket murah. Cuma 2000 dari jam satu malam sampai jam 5 subuh. Dan selama ini gue ga' pernah ngerasa takut akan berlalunya waktu. Karena suara Zarek yang senantiasa nemenin malam-malam gue. Hiks...

Sekarang?

Coba kalian pejamkan mata. Dengarkan bunyi tiupan angin yang menggesek-gesek reranting pepohonan. Dan kalian bayangkan, kalian berada dalam kegelapan. Sendirian. Lalu kalian mulai mendengar suara-suara aneh. Kadang pintu berderit. Atau bunyi langkah-langkah kaki di luar. Bunyi pukulan kecil di dinding rumah. Dan semua itu membuat bulu kudukmu berdiri. Jantungmu berdebar kencang. Serasa ada kuntilanak atau pocong yang tiba-tiba hadir di hadapanmu.

"Wari.....!"

Gue meloncat dari kasur ketika tiba-tiba gue mendengar seseorang memanggil nama gue. Gue berlari ke jendela kamar.

"Wari...!"

Suara itu semakin jelas. Gue mulai keringat dingin. Suara seorang lelaki. Dan sangat familiar. Gue mengedarkan pandangan gue ke segala penjuru kamar.

"Wari, angkat telponnya sayang!"

Dan seketika gue menghentakkan kaki gue ke lantai. Kesal!

Anjrit, itu nada alarm henpon gueeeeeee!!!

Huhuhu, gue belum sempat ngerubahnya pasca putus dari Zarek. Alarm tersebut memang gue setting dengan nada suaranya dia. Huhuhu  jadi kangen dia lagi. Jam-jam segini kami biasanya sudah mengudara. Sekarang? Hanya tinggal kenangan. Entah dimana dia sekarang!

Jauh kau pergi
Meninggalkan diriku
Disini aku merindukan dirimu

Kini ku coba mencari penggantimu...

Gue tertegun. Mencari pengganti? Tidak segampang itu! Dia lelaki yang telah bersama gue selama tiga tahun ini. Dan lagu ini menyuruh gue mencari penggantinya? No no no, yes yes yes, mungkin perlu dicoba!

Ya udah deh! Mending gue bokep dulu. Bobok cakep.

Gue kembali naik ke atas ranjang setelah mematikan alarm henpon gue. Mencoba memejamkan mata. Menidurkan telinga dan menutup semua panca indera gue. Membiarkan jiwa gue diambil oleh kegelapan. Semoga besok gue bisa terbangun dalam keadaan sehat wal afiat. Cantik, bohay dan bahagia. Amin.

Tik tik tik....

Waktu berjalan. Andai gue bisa melihat kakinya waktu, bakalan gue ikat dan bebat. Biar dia tetap berada dalam keadaan stagnant. Tidak bergulir. Tidak ada hari esok, tidak ada hari kemarin. Yang ada hanya hari ini. Gue jadi takut untuk tertidur. Karena kalau gue mejamin ini mata, gue khawatir kalau besok gue masih nemuin kesunyian dan kehampaan dalam hidup gue. Racun cinta yang ditancapkan Zarek ke dalam hati gue benar-benar mengerikan. Racun yang betul-betul bisa melumpuhkan semua urat-urat syaraf di badan gue. Lebay? Itulah yang gue rasakan!

Duh, ini mata kaga' bisa tidur. Udah lewat jam 12 juga. Gue kembali beranjak bangun. Mau beser gue. Faklah, diluar dingin dan gelap lagi! Lu pada jangan mikir kalo kamar gue ini ada toiletnya. Gue kudu keluar dari ini rumah. Belok kiri, belok kanan, lurus, belok lagi, ketemu pohon beringin, disitu tuh orang belanda pernah menggantung warga pribumi. Hiii  ko' jadi seram gini sih topiknya! Not cool, men!

Gue keluar dari kamar. Pipis gue bener-bener udah mau menjebol keperawanan gue! Dari pada gue mati tegang di dalam kamar ini kan lebih baik gue segera melepas hasrat gue di jamban keluarga yang super wangi itu?

Gue nyalain senter. Peraturan di rumah gue, ga' boleh ngidupin lampu lewat dari jam 12 malam di ruang tamu. Dengan alasan, saat ini kita harus menerapkan program CRP, cost reduction program, bahasa minangnya, BERHEMAT SODARA-SODARA! Abak sering melakukan orasi kepada gue dan Amak kalau kami harus hemat dengan listrik. Memakai seperlunya dan mematikan yang tidak penting. Bayangkan cuy, pernah listrik di rumah gue biayanya membengkak sampai 150 ribu, si Abak dengan tega membalikkan sekring lampu selama seminggu. Katanya itu hukuman bagi gue dan Amak yang tidak mau berhemat. Jadilah baju gue, baju Amak bahkan baju Abak digosok pake setrika jaman kerajaan Pagaruyung masih berjaya di ranah Minang. Dimana batok kelapa yang tidak bersalah harus dibakar sampai hitam legam. Dan bara batok kelapa yang hot itulah yang melicinkan baju-baju dan pakaian kami yang keriput seperti pantat ayam. Tentunya kalian tau kan seperti apa trika yang terbuat dari besi itu? Berat dan ribet makenya! Bersyukurlah wahai kalian anak-anak tahun 2000an yang tidak bertemu dengan perkakas tua itu. Selain itu, biasanya gue ga' pernah masak air dan nasi dengan menggunakan kompor karena ada dispenser dan magic jar, akhirnya harus masuk hutan mencari kayu bakar. Abak memang terkenal kekejamannya. Make kompor sumbu itu juga kaga' dibolehin, dengan alasan, minyak tanah MAHAL. Ya Allah, kuatkanlah hamba!

Toilet di rumah gue itu memang tidak menyatu dengan rumah. Istilahnya itu tempat mandi dan tempat buang hajat keluarga besar gue. Jadi selain keluarga gue, keluarga saudara-saudaranya Amak gue juga make tuh fasilitas. Bayangkan men, kadang gue harus antri hanya untuk sekedar pipis.

Pernah gue minta sama Abak, buatlah kamar mandi dan sumur. Tau jawabannya,

"Kau itu tidak punya rasa sosial. Mandi rame-rame itu asyik, Wari! Kalian bisa akrab satu sama lain! Kalau setiap rumah di keluarga ini dibuatkan kamar mandi. Bisa-bisa disalahkan gunakan oleh anak laki-laki yang baru beranjak gede itu!" ujar si Abak yang kaga' gue ngerti maksudnya apa.

Gue akui, sepupu-sepupu gue emang kebanyakan cowok. Mereka kalau mandi berisik sekali. Entah apa yang mereka perdebatkan di kamar mandi. Pernah gue menunggu sampai setengah jam. Padahal gue mau berak. Beol gue seolah-olah mau meloncat dari pantat gue saking ga' kuatnya nahaan. Karena tidak sabar gue tendang tuh pintu kamar mandi sampai menjeblak terbuka. Dan sepupu cowok gue itu, yang ada empat orang itu serentak menjerit, karena mereka tanpa selembar benangpun. Buru-buru mereka menutupi anggota terlarang mereka dan mengumpat-umpat keluar dari kamar mandi. Gue ga' peduli. Gue kunci lagi pintu dari dalam, dan gue dengan tenang menunaikan panggilan alam yang sangat menakutkan itu. Plog, lega.

Gue perhatiin ruang tamu rumah gue gelap banget. Amak dan Abak gue yakini sudah pasti terlelap. Dari luar saja gue bisa mendengar dengkuran Abak. Bakaruah gadang sarupo kabau kanai dabiah!

Bakaruah - ngorok
Gadang - besar
Sarupo - serupa
Kabau - kerbau
Kanai - kena
Dabiah - sembelih

Gue heran, kenapa bisa ada orang yang tahan dengan bunyi dengkuran sekeras itu. Kalau gue punya suami seperti itu udah gue masukin ke dalam lobang buaya. Biar dikunyah hidup-hidup sama tuh predator. Dan Amak dengan bangganya mengatakan kepada gue, kalau ngoroknya si Abak itu yang bakalan menjadi pertanda di alam barzah nanti. Dia bakalan tidak kesusahan mencari Abak hanya dari dengkurannya saja. Gue cuma bisa geleng-geleng kepala dengerin ucapannya Amak.

"Dan satu lagi yang perlu kau tau, Wari! Dengkuran Abak kau tu, lebih merdu dari seruling bambu orkes-orkes dangdut  yang sering kau tonton itu!"

Gue hanya bisa ternganga ngeri mendengar bualannya Amak. Mungkin karena udah cinta yah, jadi apapun yang dilakukan Abak, selalu indah di mata Amak. Love it!

Gue keluar dari rumah. Begitu membuka pintu, gue rasakan hembusan angin yang sangat dingin menerpa kulit mulus gue. Gue kitari sekeliling gue yang sunyi bagaikan di kuburan. Meremang bulu kuduk gue ketika gue mendengar suara lolongan anjing bersahut-sahutan. Lutut gue terasa lunglai. Namun rasa pipis gue ngalahin rasa takut gue. Dengan cepat gue menuju kamar mandi yang bisa menampung lima orang itu. Dalam kamar mandi itu ada bak penampungan besar. Dan ada satu toilet jongkok di dalamnya yang ditutupin pintu. Jadi ga' bakalan ada yang bisa ngeliat gue sedang buang hajat.

Tiba-tiba gue merasa mules. Efek kena angin malam. Gue segera membuat posisi sepewe mungkin di atas closet. Bau kamar mandi ini ampun-ampunan. Hidung gue seolah-olah mau copot. Bau pesing yang sangat kental dengan aroma jengkolnya. Hueeekkk! Hidung gue serasa meledak. Namun gue tahan semua itu. Gue mulai melepaskan sepotong demi sepotong barang yang diproduski perut gue. Sampai seperempat jam lamanya gue mancangkuang alis ngongkong.  Dan setelah gue ngerasa beres gue ambil air di dalam ember yang ternyata cuma tinggal segayung. Gue cuci dulu pantat gue donk. Lalu ember hitam tersebut gue angkat ke dekat bak penampungan. Namun sial, air dalam bak sudah habis. Sementara sanyo ga' boleh dihidupin kalau malam-malam gini.

Duh, gue jadi ga' tahu harus bagaimana. Itu kotoran gue masih bergolek-golek manja di dalam lobang kakus. Mesti gue siram pake apa?

Bodo' akh! Salah Abak dan orang tua-tua disini yang pelit sama anak. Gue segera meninggalkan kamar mandi keramat tersebut. Gue yakin, besok bakalan heboh tingkat kecamatan. Ada yang tidak menyiram toilet. Hihihi. Mampus dah!

Gue masuk ke kamar. Ngunci pintu dan mulai merebahkan diri di ranjang. Gue ngantuk banget! Bobok dulu yeee.... Muaaachhhh.....

***
Pagi menjelang...

Gue terbangun ketika gue denger teriakan di luar kamar gue!

"Wari, kau yo ndak bamoral saketek alah juo do! Ndak kau siram cirik kau tu! Dasar kalera anguih kau ko mah!"

Gue kaga' tau siapa yang marah-marah. Namun terdengar sangat rame di luar.

Saketek - sedikit
Cirik - kotoran,tinja
Kalera - brengsek
Anguih - hangus

"Ada bukti apa kau menuduh si Wari yang karaie tadi malam, Ros? Jangan sembarang menuduh kalau tidak ada bukti!" gue dengar Amak membela gue. Ohh jadi yang marah-marah barusan Tek Ros? Adik Amak yang paling kecil.

Karaie - buang hajat, pipis, beol

"Apo nan indak dek, Uni? Coba lihat kolor hitam dan bakarak ini? Ado tulisan namo inyo di kolor tu! Prameswari!"

Deg
Deg
Deg

Bakarak - berkerak

Gue lupa mengenakan kolor gue semalam setelah boker! Alamak, harapan hancur karir gue di kampung ini. Hancur... Hancur...!

Bersambung....

JOMBLOWATI 4. GULAI KALIO JARIANG

"Tak bisa tidak! Si Wari sudah pasti diguna-guna. Kita harus segera membawanya ke dukun, Uda! Saya tidak mau, anak gadis kita yang bohay ini harus merana seumur hidup! Paja karapai tu harus kita datangi! Ndak lalu jo lunak den agiah cirik barandang beko!"

Lapat-lapat gue mendengar Amak dan Abak sedang berdiskusi hebat di luar. Kemungkinan sih di ruang makan. Sedangkan gue, masih mendekam di dalam kamar dengan selimut membungkus tubuh sintal gue. Gue lirik jam di dinding sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Cukup lama juga gue tidak sadarkan diri. Parah nih! Gue seperti Zainuddin yang ditinggal kimpoi Nurhayati. Patah bacinto, mode iko bana rasonyo! Salamak makan gulai talua ayam jo pucuak parancih.

"Sudah bangun kau, Nak?" Gue memalingkan kepala ke arah sumber suara. Seorang lelaki tua, sekitar 60 tahun berdiri di depan pintu kamar gue. Wajahnya yang sudah dimakan usia itu memandang gue dengan tatapan iba.

Gue mencoba untuk bangun. Namun badan gue terasa lemas sekali.

"Sudah, jangan kau paksakan bangun. Tidur sajalah, nanti ku suruh amak kau bawakan air minum dan nasi untuk kau makan" Abak lalu menutup pintu kembali meninggalkan gue yang mencoba mengumpulkan segenap kekuatan gue.

Malam makin merayap menjemput kesunyian. Amak dan Abak gue dengar tertawa-tawa di luar. Bunyi sendok beradu dengan piring. Hmm, sepertinya mereka sedang makan.

"Jariangnyo taraso kamek, Nur! Sakamek senyum kau!" Gue menahan kerongkongan gue supaya tidak bergerak. Ucapan Abak barusan membuat gue kesal.  (Jengkolnya enak, Nur! Semanis senyummu). Sempat-sempatnya dia merayu Amak disaat putrinya menahan perut keroncongan.

Jariang = Jengkol
Kamek  = lezat, manis, enak

"Iyo Da? Ini jengkol nan dibawa si Samsu dari Pasaman. Kemarin dia dari rumah mertuanya yang juragan jengkol itu! Masih ada sekarung di belakang! Mungkin selama dua minggu ini, Nur masak samba jo gulai jariang sajo untuk makan kita!"

What???

Makan jengki selama dua minggu? Oh tidakkkkk! Apa kata dunia kalo sampai body dan soul gue yang bak bidadari ini baunya bau jengkol? Oh tidaaakkk!

"Hahaha, jangan seperti itu Nur! Kau tidak ingat, tahun lalu kau dilarikan ke rumah sakit karano dikabek jariang? Masih mau kau dirawat di rumah sakit?" Abak tertawa keras mengingatkan Amak akan peristiwa memalukan tahun lalu.

Gue senyum-senyum geli jika mengenang kejadian heboh dan dramatis tersebut.

Waktu itu, Mak Etek Samsu, adik laki-lakinya Amak datang dari Pasaman. Membawa berkarung-karung jengkol untuk dia jual. Selain dijual, dia juga menyisakan satu karung untuk keluarga gue. Karena Mak Etek Samsu tahu kalau Amak gue itu doyan banget sama yang namanya Jengkol. Jadilah selama seminggu penuh, jengkol tidak hilang dari meja makan keluarga gue.

Suatu malam sehabis makan gadang, dimana Amak membuat gulai kalio Jariang, yang rasanya sangat membikin candu, dan waktu itu, Zarek diundang makan malam terjadi kehebohan. Amak merasakan perutnya sakit. Dipiyuah-piyuah atau dipilin-pilin. Sakitnya naudzubillah ampun-ampunan. Amak sampai break dance menahan rasa sakit yang mengikat perutnya. Dia muntah-muntah hebat.

Gue kira Amak akan berpulang ke Rahmatullah malam itu melihat dia yang menjerit-jerit kesakitan. Sekampung heboh! Rumah gue dikerubungi orang banyak. Mereka pada berspekulasi dengan apa yang terjadi sama Amak.

"Kanai guno-guno ko mah!"
"Kanai tubo ndak?"
"Ado nan iri mungkin ko?"

Dan semua prasangka-prasangka yang membuat kepala gue jadi pusing. Gue keluar dari rumah. Tidak tahan mendengar jerit kesakitannya Amak dan suara-suara yang bak kumbang di rumah gue.

Tujuan gue cuma satu! Berlari secepat yang gue bisa menuju rumah Mak Etek Samsu. Gue harus minjam pick upnya dia buat bawa si Amak ke rumah sakit. Gue tidak tahu apa yang terjadi dengan Amak. Gue takut terlambat. Kalo nyokap gue mati, gue ga' rela.

Di depan rumah Mak Etek, gue lihat bininya yang gemuk tambun itu sedang makan kolak ubi.

"Amay, Mak Etek mana? Darurat nih!" ujar gue sambil merebut rantang kolak ubi yang sedang dipeluk-peluk isteri Mak Etek gue itu. Dan mulai menyendokinya ke mulut gue.

Nyam nyam nyam. Kolak ubinya enak bener dah!

"Darurat kenapa?" tanya Amay sambil berusaha bangun dari kursi malasnya. Badannya sangatlah gemuk. Terlihat kesusahan untuk bangun.

"Amak sakit! Menjerit-jerit seperti mau mati! Entah apa yang salah!" ujar gue dengan mulut penuh ubi. Tiba-tiba,

Plakkkk

Pipi gue digampar sama Amay.Dua sampai tiga ubi meloncat keluar dari mulut gue.

"Amak kau hampir mati dan kau masih saja manyungkah disiko? Anak durako! Capek angkuik amak kau tu ka rumah sakik!" seperti diberi kekuatan oleh Allah, Amay gue yang tambun itu menyambar selendangnya. Menutup kepalanya dan menarik tangan gue. Gue seperti di bawa melayang ketika dia berlari ke arah mobil pick up yang ngetem di halaman rumah.

Manyungkah = makan
Capek  = cepat
Angkuik = angkut
Durako = durhaka

Amay melempar tubuh gue ke sebelah kiri. Dia duduk di kursi sopir. Belum sempat gue masang sabuk pengaman, mobil sudah bergerak dan dengan kecepatan tinggi menderu membelah jalanan yang gelap gulita.

Dua menit sampai. Jantung gue serasa copot. Gue lihat rambut gue di kaca jadi acak-acakan. Wajah gue pucat. Ngeri sekali cara Amay mengendarai mobil. Lutut gue serasa lemas.

"Amay...?" gue tengok ke sebelah wujudnya sudah hilang. Dia terlihat berlari ke dalam rumah gue. Menyingkirkan orang-orang yang masih berdiri di depan rumah gue.

"Beri jalan! Beri jalan!" teriaknya. Semenit kemudian dia sudah menggendong dua sosok tubuh dari dalan rumah. Kemudian,

Gubrak! Dia lemparkan dua sosok tersebut ke kabin belakang yang terbuka.

Amak dan Abak!

Amay lalu duduk kembali di kursi kemudi. Kepalanya dia keluarkan dan berteriak sekeras mungkin.

"Zarek, waang jaga rumah! Awas kalau sampai waang menghilang, den kirim nyawa waang ka akhirat!"  Gue mendelik mendengar kata-kata Amay. Yayang gue mau dibikin ko'it? Gue lihat Zarek melambaikan tangan. Mobil kembali menderu membelah pekatnya malam.

"May, kiro-kiro Amak kenapa ya?" ujar gue sambil menengok ke belakang. Gue lihat Abak memeluk Amak yang masih terlihat kesakitan. Duh, mereka romantis banget. Peluk-pelukan disirami dinginnya angin malam yang membuat masuk angin.

"Kalau aku tengok, Amak kau tu dikabek jariang! Makan jengki itu seadanya sajalah! Jangan berlebihan! Ingat umur! Amak kau tu sudah tidak muda lagi!" Amay menghapus keringat yang membanjiri wajahnya.

Dikabek jariang! Penyakit yang sangat memalukan. Jengkol itu memang tidak boleh dikonsumsi secara berlebihan karena bisa menyebabkan perut jadi sakit. Gue ga' tahu pasti sih bagaimana cara menjelaskannya. Kalian cari tahu sajalah sama si gugel.

Tiba-tiba gue mencium bau yang sangat busuk. Bau yang sangat familiar. Perut gue jadi mual.

"Takantuik May?" tanya gue sambil mendekap mulut dan hidung gue. Amay tersenyum simpul. Mengangkat sedikit pantatnya. Dan bunyi yang sangat keras menghantam telinga gue.

Takantuik = terkentut

Prettt...prooott...prettt...

Amay tertawa terpingkal-pingkal. Gue manyun sambil meninju lengan gembrotnya.

"Bau bangkai anjing! Busuk nian!" ujar gue sambil ngeluarin kepala gue di jendela. Gue muntah habis-habisan sambil mengutuk Amay gembrot yang sangat kurang ajar itu.

Dan akhirnya kami sampai di rumah sakit. Amak langsung dilarikan ke ugd. Ada dua hari lamanya Amak dirawat. Sebenarnya satu hari sudah dibolehin pulang. Cuma Amak terpesona sama Dokter yang ngerawatnya. Jadi akhirnya dia masih pura-pura kesakitan. Kalau saja tidak diancam Abak, mungkin dia masih betah berlama-lama di rumah sakit itu.

"Dasar urang gaek gata! Sadarlah jo umua! Dokter gagah tu cocoknyo jo si Wari! Urang tea ko mah! Caraikan sajo aden kok ka manggata juo karajo kau tu! Huhh!" Abak ngomel-ngomel dan merungut-rungut di depan Amak. Dia cemburu. Amak meraih tangan Abak. Dan menciumnya.

Tea = gila
Gata = gatal
Umua = umur
Jo = dengan
Ko = ini

"Uda tenang sajalah! Saya hanya cuci mata! Setelah dua hari melihat dokter ganteng itu, mataku jadi sedikit terang!" ujar Amak dengan ganjen. Gue hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah kedua orang tua tersebut.

***

Gue ngerasa tenaga gue sudah kembali lagi setelah menyantap makan malam masakan Amak. Gue terpaksa makan di dalam kamar.

"Wari, besok kau ikut amak ke rumah Datuak Sati Pamangku Bumi!" kata Amak sambil mengambil piring makan gue. Gue deg-degan. Datuak Sati Pamangku Bumi bukan orang sembarangan. Dia dukun besar. Duh, gue jadi dagdigdug.

Apakah yang terjadi besok?

Bersambung...!

JOMBLOWATI 3. JAMBU AIE

"Wari, sudah kau giling cabe tu?" Amak memandang ke arah gue yang masih duduk manja sambil menggiling cabe di batu gilingan. Mata gue udah perih karena tadi si bawang merah ngencingin mata gue dengan jahatnya. Hidung gue udah kembang kempis karena kepanasan.  Hangek coy! Beginilah perjuangan seorang wanita untuk membuat masakan terlezat untuk suami tercinta. Suami? Oh no! Jangankan suami, pacar saja gue kaga' punya. Perlahan-lahan air mata gue menetes.

Tetes air mata
Basahi pipimu
Disaat kita kan berpisah...

Huhuhu, bukan dia yang nangis, tapi gue! Salah lagu gue sepertinya.

Baiklah, gue ga' boleh mikirin Zarek lagi! Sudahkah kalian tahu siapa Zarek? Yups, dia Pangeran Jahat yang telah memporak porandakan hati gue. Menyisakan lubang yang cukup dalam yang bisa digunakan untuk belut bertelur disana. Abaikan!

"Kau tu, sudahlah! Lupakan pemuda tidak tahu diuntung itu! Masih banyak yang suka pada kau! Tak perlu kau ratapi pemuda durjana itu! Kau masih muda, jangan terlalu larut dalam keresahan! Cobalah kau tengok wajah kau tu! Pucat serupa mayat!" Gue melihat Amak sedang mengaduk-aduk sesuatu di dalam kuali sambil nyerocos. Dia sih enak, ga' ngerasain gimana atitnya ditinggal pujaan hati. Sakit tau'! Serasa diremas-remas si tukang urut.

"Sudahlah Mak, Meme tidak apa-apa! Udah bis kok ngelupain yayang Zarek!" Ketika ngucapin 'yayang Zarek', ratusan jarum seolah ditusuk-tusukkan ke jantung hati gue. Pedih tak terperi. Jangan-jangan gue udah dipelet? Tidakkk! Gue tidak mau kena santuang palalai! Gue harus ngajakin Amak ke dukun untuk nerawang body dan jiwa gue. Soalnya itu makhluk keparat masih saja kebayang-bayang di mata cantik gue! Harus!

"Kau bilang sudah bisa melupakan lelaki sialan itu, tapi kau masih saja menangis! Lihat, cabe yang kau giling sudah bercampur dengan air mata! Asin sekalilah nanti itu cabe!" Amak melemparkan sehelai sapu tangan yang gue abaikan dan hinggap dengan mulus di atas kepala gue.

"Bukan air mata Meme saja, Mak! Ingus Meme pun sudah bercampur dengan ini cabe!" ujar gue tanpa dosa yang membuat wajah Amak mengelam dengan mata terbelalak! Sebelum suaranya melengking gue segera berdiri dan langsung berkiblat secepat kilat di langit yang mendung. Meninggalkan sumpah serapah Amak yang bergema di sore yang cerah itu.

"Anak lakuah, kumuah! Jajok den! Mati takangkanglah kauuu!"

Ternyata suasana dapur pun tidak mampu membuat hati gue tenang. Sekarang gue berada di halaman rumah. Kampung ini terasa sunyi sekali. Walau ada beberapa tetangga gue yang terlihat sibuk dengan aktifitas masing-masing.

Di halaman rumah gue yang mungil dan damai ini, tertancap sepokok pohon jambu air yang sedang lebat buahnya. Kalian tahukan jambu air? Ya Allah, gue kaga' tahu apa bahasa Indonesianya, tapi di kampung gue, namanya jambu aie. Karena memang jambu ini banyak airnya dan bikin candu kalau memakannya. Jangan kau coba-coba memakannya sampai satu kantong asoy, bisa mencret-mencret kau dibuatnya! Gue kaga' mau tanggung jawab kalau kalian harus bolak balik ke toilet atau harus berakhir di rumah sakit dengan diagnosa, MENCRET KARENA JAMBU AIR! Memalukan.

Di bawah pohon jambu tersebut, ada sebuah bangku panjang dan meja panjang. Biasanya kami gunakan buat kongkow-kongkow. Si Zarek biasanya sering main gitar di sana. Nyanyiin lagu-lagu romantis buat gue. Kadang angin bertiup sepoi-sepoi, dengan dentingan gitar dan syahdunya suara Zarek, gue sandarkan kepala gue ke bahunya yang tidak bidang itu. Ya iyalah, pemuda kampung seperti Zarek yang kerjaannya cuma ngojek, mana bisa memiliki body bagus kaya' bintang-bintang celana kolor itu! Pantatnya saja tepos! Kadang gue kesal sama dia kalau sudah membahas pantat.

Dia sering banget muji-muji pantat gue.

"Me, pantatmu sangat bohay! Ingin sekali aku menyarangkan wajahku di belahan pantatmu!" ujarnya sambil menatap gue dengan pandangan mesum.

Kalian kira gue bakalan tersanjung dan bahagia mendengar ucapannya yang sangat menjijikkan itu? Tidak! Jurus Sepuluh Cakar Harimau pun melayang ke wajahnya. Merobek-robek wajahnya dan menjadikannya si buruk rupa. Abaikan!

Gue mentoyor wajahnya ke belakang! Membuatnya terjungkal dan terjengkang ke tanah!

"Dasar mesum! Aku ini calon ibu dari anak-anakmu! Teganya kamu menyakitiku dengan kata-kata kotor seperti itu! Kau kira aku wanita murahan? Kau kira aku pelacur, ha?" gue menginjak lehernya membuatnya megap-megap kehabisan nafas.

Untung saja masih ada Malaikat yang menenangkan diri gue sehingga gue tidak mengirimkan arwahnya ke alam baka. Gue mencengkeram kerah bajunya dan membantunya berdiri. Dia terlihat sangat lelah. Sampai batuk-batuk seperti aki-aki yang asmanya kambuh.

"Kamu... Kasar sekali,  Me! Aku ini calon ayah dari anak-anakmu! Kalau aku nanti mati, siapa yang akan mempersuamikan kamu?" Zarek menatap mata gue dengan ekspresi kesal. Gue hanya mendengus sebel! Yang salah siapa coba? Gini-gini gue anak Silat. Jadi jangan coba cari gara-gara sama gue!

Gue manyun.

Diam.

Dan dia akan mulai merayu gue kembali. Jongkok di depan gue dengan mengangkat tangan kanannya. Dan gue buru-buru ngambil sesuatu di kantong celana gue. Uang koin 100 perak pun nangkring di telapak tangannya. Wajah Zarek berubah kelam.

"Apa ini?" tanyanya dengan suara menggelegar.

"Loh, kamu bukannya ngemis barusan?" ujar gue sambil menahan tawa.

"Kamu benar-benar tidak romantis! Aku itu hendak merayu kamu, Me! Tapi... Kamu malah... Menganggapku... Mengemis? Segitu hinakah aku di matamu, Me?" suara Zarek tercekat. Matanya berkaca-kaca. Ya amoy, gue ga' ada maksud ngerendahin dia! Ihhh, Zarek ngambekan mah orangnya! Ga' seru!

Perlahan-lahan dia membalikkan badannya dan berlalu ninggalin gue. Tanpa sepatah katapun!

Gue ngerasa sangat bersalah! Gue ga' ada maksud nyakitin hatinya. Dan dengan sigap gue memburu tubuhnya yang kian menjauh. Dia terlihat bak seorang pengelana. Dengan gitar dipunggungnya dan tubuhnya yang jangkung berjalan sambil menendang-nendang batu kerikil jalanan.

"Zarek! Tunggu!" teriak gue dengan kencang yang membuat burung-burung yang sedang kimpoi berhamburan meninggalkan sarangnya. Dia tidak mempedulikan teriakan gue. Gue menambah kecepatan gue. Ibarat bintang kungfu, gue meloncat, melayang dan sekali-kali salto di udara! Uh, semoga ada yang mengabadikan moment gue jumplitan di udara itu ye? Diupload di youtube dan gue jadi tenar deh!

"Zarek, tunggu!" gue menggapai bahunya. Gue berhenti di depannya dengan nafas ngos-ngosan. Zarek kemana-mana selalu membawa ransel kecil yang berisi minuman. Gue tahu, dia tidak akan tega melihat gue semaput begini. Benar saja, belum sempat gue berkata, dia mengeluarkan sebotol air mineral dari dalam tas ranselnya. Gue menatapnya dengan mata berbinar.

Glug glug glug, segar!

Gue hanya bisa memandangi Zarek dengan air mata beruraian. Air mineral tersebut habis dia minum di depan gue. Di depan kekasihnya yang terlihat dehidrasi. Dasar pacar tidak punya perasaan!

Gue ngerebut botol minuman tersebut. Yang sudah kosong melompong. Membantingnya ke tanah dan menginjak-injaknya dengan sekuat tenaga. Gue kesal!

Lalu kami berdiri saling berhadap-hadapan. Zarek menatap gue dengan tajam. Gue tentu tidak mau kalah.

"I Love U!"

Gue langsung ternganga mendengar tiga kata itu dari Zarek. Matanya yang tadi tajam seketika dipenuhi telaga yang meneduhkan. Dia jadi terlihat begitu tampan.

"Apa?" tanya gue sambil nyodorin kuping kanan gue.

"Aku cinta sama kamu, Me! Kamu membuat hidupku penuh warna! Disaksikan langit jingga dan ditemani seruling sang bayu, berjanjilah Me, untuk selalu setia kepadaku!"

Hati wanita mana yang tidak melambung mendengar kalimat romantis seperti itu. Zarek mengulurkan tangannya. Meraih jemari-jemari gue yang lembut bak gadis keraton.

Dan semua kenangan itu menghantam dada gue dengan kuat. Gue merosot ke tanah dan meratap pilu.

"Hueeeeeeee... Hueeeeee...!"

Gue kejang-kejang di atas meja panjang di bawah batang jambu. Dan semuanya gelap ketika saat-saat kesadaran gue menghilang, gue masih sempat mendengar jeritan Amak.

"Wariiiiii!"

Bersambung...

JOMBLOWATI 1 . SANDUAK NASI

Ketika jemari gue berdansa dengan irama cepat di atas papan keyboard komputer ini, percayalah, gue sedang menangis. Bukan menangis bahagia, tapi menangis karena gue baru saja putus. Putus! Tepatnya sudah dua hari gue merana karena kehilangan cinta. Dan rasanya itu sangat menyakitkan. Seumur-umur gue tidak pernah menangis seperti ini. Dia mencampakkan gue! Setelah berpacaran selama tiga tahun, dan dia dengan mudahnya mengatakan,

"Aku bosan!"

Brengsek! Dan sialnya lagi, gue hanya bisa menatapnya muram tanpa mau bertanya apa yang menyebabkan kebosanannya tersebut. Dia berlalu begitu saja dengan meninggalkan sepatah kata,

"Maaf!"

Aaaaaggggh, sialan...siaalaannn....!

Sebenarnya gue pengen mengamuk di kamar inii. Membanting sesuatu kalau perlu. Seperti di film-film itu lho. Dimana si tokoh utama dengan gampangnya membanting barang-barang mahal di dalam kamarnya. Lemari, TV, Kulkas, dispenser, magic jar dan spring bednya itu habis dibanting dan ditendang. Tapi gue apa yang mau dibanting? Wong di kamar ini cuma ada kasur doank plus komputer tua yang sering ngeheng ini. Hff! Sebel!

Ujung-ujungnya gue hanya bisa menatap layar pentium 4 ini. Orang sudah memakai laptop, notebook, netbook, atau yang paling keren, macbook, sedangkan gue, masih bertahan dengan komputer tabung yang besar kepala itu. Layarnya pun cuma 14 inci. Biasalah genk, masalah klasik, ekonomi belum merata di bumi nusantara ini. Huh!

Anyway, gue sudah lari kemana-mana! Back to topic, ternyata gini banget yach rasanya putus cinta. Seperti kata Anang, separuh jiwaku pergi! Hellow, untung deh gue kaga' kehilangan semua jiwa gue! Ga' kebayang dah, kalau gara-gara cinta gue tewas. Dan gue harus move on! Hiks hiks hiks! Nulisnya sih gampang, M O V E - O N, tapi ngelakuinnya itu sesusah gue buang hajat yang keras karena kebanyakan makan jambu biji! Hukkk...! Sampai berdarah-darah baru dah itu boker keluar. Astaga!

KEMBALI KE LAPTOP! PLOK PLOK PLOK!

Kalian pasti penasarankan, siapa cewek cantik yang lagi curhat kaga' jelas ini? Perkenalkan nama gue, PRAMESWARI, nama yang cantik tho? Kalian pasti kagum kan dengan nama gue? Tapi percayalah teman, gue sebenarnya kurang sreg ketika orang memanggil gue. Kadang mereka memanggil gue PRAM, atau WARI! Hello, panggilan apakah itu? Pram itu untuk cowok, untuk yang berbelalai (red-sensor), sedang kan gue? Gue asli cewek cantik, berambut panjang, berbibir merah tipis dan berbadan sexy. Sedangkan WARI, oh em ji, tinggal kalian tambahin A aja di belakang, jadilah "WARIA!" Oh my kuali, my panci, my dandang! Gue sering menangis dalam hati ketika orang memanggil gue demikian. Jadinya, gue mikir apa panggilan yang bagus buat gue. Dan here we go, "MEME". Rasanya panggilan itu lebih manusia dan lebih kecewek'an. Dan gue selama ini, enjoy aja dipanggil demikian, MEME, sesuatu banget yach! Asal kalian ga' nambahin huruf kurang ajar di belakang nama panggilan gue tersebut! Kalau sampai kalian ngelakuin itu, siap-siap aja, BACOK!

Oke, demikian perkenalan dari gue. Selanjutnya kalian akan gue curhatin setiap hari. Hiks!

Judul cerita gue ini, A Girl Without Love, bukan gue sok-sok kebaratan, tapi biar keren aja gitu dan kamu-kamu atau elu-elu pada interest bacanya. kalau di bahasakan, jadinya JOMBLO! Hiks hiks... ngenes banget dah nasib gue! Selama tiga tahun gue hidup dalam kebahagiaan, sekarang gue hanya jadi tukang cengo! Jadi orang yang suka melamun dan susah untuk melupakan masa lalu yang penuh warna.

Ohhh masa lalu, inilah masa lalu...!

Kalau gue terusin bisa-bisa gue jadi joged beneran ini. Gue ini tipe orang yang setia pada satu pasangan. Seperti Romi dan Juli, gue berharap hubungan gue bakalan abadi dan romantis gitu tapi dengan ending yang tidak mengerikan seperti kisah jadul baholak itu. Kenyataannya, malah lebih tragis kisah percintaan gue, diputus hanya karena BOSAN. Huhu, mau dikemanain kemaluanku ini? Aku malu, aku malu, aku malu! Asyek!

Hufff...

Gue kalau suntuk emang begini, sering ngelantur kemana-mana. Kalian bayangkan saja, dua hari gue mendem di kamar! Tanpa mandi, tanpa ganti baju, tanpa ganti kolor! Bisa kalian bayangkan betapa asemnya badan gue? Dan kalian, bisa gue pastikan bakalan menjauh dari gue ketika gue ajak ngomong. Nafas gue sudah setara dengan bau kakus yang hampir meledak. Menjijikkan! Dan itu semua hanya karena cinta! Huhu!

"Oi, Wari! Mandilah kau! Sudah baun limbah pabrik badan kau tu! Putus cinta sih putus cinta, tapi masa' kau mau merusak imej kau nan sudah rancak itu?"

Kalian tahu siapa yang barusan berkicau? Amak gue! Dan dia masih saja memangggil gue dengan panggilan mengesalkan itu! Sudah dua hari ini juga dia getol menyuruh gue mandi! Coba kau bayangkan, coba kau rasakan, tanya bintang-bintang, buat apa gue mandi coba? Buat apa gue dandan cantik, tampil sexy menawan dan memikat hati, kalau status gue sekarang ini Cuma, Jomblo? Hiks hiks hiks.

"Cepatlah kau mandi! Atau Amak kunci saja kau di dalam kamar ini. Biar membatu sekalian bersama cicak-cicak di dinding!" Amak sudah berdiri di belakang gue yang masih saja sibuk mempelototin layar komputer gue.

Gue diamin tuh si Amak.

"Hoi Wari, lai kamu dengar ucapan Amak? Mau jadi anak durako kamu?"

Gue menoleh ke belakang dan PLETOK!!!

Sanduak nasi sudah mampir di kepala gue. Gue menjerit setinggi langit, darah berceceran dan berhamburan dari kepala gue yang ditokok amak dengan sanduak nasi. Dan dalam hitungan menit gue terkapar di lantai dengan darah yang terus mengalir membasahi wajah cantik gue. Lebay!

Pletok!!!

Kembali kesadaran membawa gue dari alam mimpi.

"Melamun dan melamun saja kerja kau tu Wari! Kalau sampai aku bertemu dengan mantan pacar kau tu, aku cukur habis bulu keteknya! Biar loyo seperti si Samson Betawi itu! Panas hatiku melihat anakku merana seperti ini! Hiks...hiks..hikss! Apa dia tidak tahu, bagaimana susahnya aku mengandung kau Wari, membesarkan kau dan memberikan yang terbaik buat hidup kau! Ondeh Wari eee, co iko bana nasib kau Wari! Huhuhu!" seperti drama Korea, Amak memeluk tubuh gue erat. Dan gue menyandarkan kepala gue ke dadanya yang sudah peot dimakan usia. Mau mimik, Mak! Astaga, kemana akal dan pikiran gue! Hfff.

Tapi tibat-tiba Amak melepaskan pelukannya,

"Naudzubillah! Bau' kau tidak lagi seperti bau manusia Wari! Onde mande, pekak hidungku mencium baun kau tu!" dan tanpa dikomando, Amak melangkah keluar secepat yang dia bisa. Meninggalkan gue yang memandangnya dengan ekspresi manyun. Tega!

Ya udah deh, gue mau bengong doeloe....

bersambung...

JOMBLOWATI 2. SANDUAK GULAI

Gini-gini gue pinter masak lho. Jadi kalo kalian main ke rumah gue, gue jamin, kalian akan pulang dengan perut kenyang dan buncit cit cit...

Setelah puas bergalau ria dan menyepi di kamar gue yang sunyi dan sepi kaya' di kuburan, gue akhirnya mengambil keputusan untuk menyingsingkan lengan baju, dan mengangkat cangkul lalu berangkat ke sawah. Hahaha, bercanda dink, maksudnya, gue akhirnya mencoba untuk move on. Walau bayangan sang mantan masih wara wiri di dalam hati dan pikiran ini. Oughh, gue jadi nelangsa lagi.

Tapi, tidak! Saatnya gue ke dapur. Gue udah kangen sama batu lado. Selama gue menyepi dan kehilangan akal, dapur ini serasa memanggil-manggil nama gue.

Awalnya, Meme...Meme... Dimana kamu?

Gue masih galau, jadi ga' gue gubris pertanyaan tuh si dapur.

Lalu, Wari...Wariii.. Dimana kau? Cepatlah kau ke dapur. Kau bantulah aku!

Gue kira tadinya si Dapur yang manggil-manggil gue, setelah gue tajamkan indera pendengaran gue, bahkan daun telinga gue muter dengan kecepatan 180 km, baru gue sadar, kalau itu suara AMAK.

Akhirnya dengan membulatkan tekad, gue beranjak dari tempat duduk dan mengangkat kedua tangan gue. Mangaleyoang alias peregangan. Tulang-tulang di badan gue berderik-derik. Gue sendiri sampai takut mendengarnya. Gue loncat-loncat kecil untuk melemaskan otot kaki gue. Tarik nafas, tahan, dan keluarkan.

Puuudhh...!

Gila men, gue kentut! Ih, itu cewek cantik di dalam cermin memencongkan bibirnya dan mengibas-ibaskan tangannya sambil memukul-mukul pantatnya. Setelah gue liat lagi lebih jelas ke cermin, ternyata itu, Gue. Aissshh...

Gue sendiri sampai lupa dengan wujud gue sendiri. Hahaha, parah! Cinta membuat gue gila!

Wariiii

Terdengar lagi teriakan sang Amak. Amak kalau sudah teriak, seperti mau meloncat tulang kerongkongannya. Membuat gue kaget ajah.

"Iya Mak! Sabarlah sekejap! Ini lagi berbedak. Biar nak cantik anak Amak ni!" sahut gue sambil melepohkan bedak pipa ke pipi gue yang sekarang terlihat tirus. Kemanakah larinya pipi gue yang bak pauh dilayang itu?

Padahal gue belum mandi. Biarlah, Lagian yang ada di dapur cuma Amak doank. Tak perlu juga gue berdandan bak bidadari hanya untuk memasak.

"Amak!" teriak gue kenceng sambil memeluknya dari belakang. Amak sampai tergagau dan hampir saja kain sarung yang membelit pinggangnya tanggal dan merosot.

Pletokkk!

Kalau sebelumnya sanduak nasi yang hinggap di kepala gue, sekarang sanduak gulai. Bisa kalian bayangkan, sanduak gulai yang kepalanya bulat itu hinggap di kepala gue! Jedarrr!!!

Gue melihat ribuan kunang-kunang beterbangan di mata gue.

"Bikin kaget Mak saja kau Wari. Untung cuma kain ini saja yang melorot, kalau jantungku ini yang copot bagaimana? Tewas aku seketika!" Amak mulai ngemol-ngemol.

Ngomel-ngomel!

Biarin, weee! Suka-suka gue mau nulis apa! Ngomel-ngomel kek, ngemol-ngemol kek! Masa lalu buat lu? Huh!

Ya udah, itu aja kok repot!

Pletokkk!

"Melamun lagi kamuhhhh??? Ga' bosan-bosannya yah???" tenggorokan Amak kembali meloncat keluar. Untuk kedua kalinya gue memegang kepala gue. Lama-lama bisa geger otak gue kalo dipukul mulu'.

"Iya Mak ahk! Sakit tau' dipukul terus! Sini sanduaknya! Sekarang giliran Amak di pletokin!" gue ngulurin tangan ngambil tuh sendok eh udah gue kasih tahu belum yah kalau sanduak itu bahasa Indonesianya Sendok? Ya ampun, sorry ya guys.

"Dasar anak durhaka kau!" Amak meringis kesakitan ketika sanduak gulai tersebut mampir di keningnya.

Bersambung....

JOMBLOWATI 1 . SANDUAK NASI

Ketika jemari gue berdansa dengan irama cepat di atas papan keyboard komputer ini, percayalah, gue sedang menangis. Bukan menangis bahagia, tapi menangis karena gue baru saja putus. Putus! Tepatnya sudah dua hari gue merana karena kehilangan cinta. Dan rasanya itu sangat menyakitkan. Seumur-umur gue tidak pernah menangis seperti ini. Dia mencampakkan gue! Setelah berpacaran selama tiga tahun, dan dia dengan mudahnya mengatakan,

"Aku bosan!"

Brengsek! Dan sialnya lagi, gue hanya bisa menatapnya muram tanpa mau bertanya apa yang menyebabkan kebosanannya tersebut. Dia berlalu begitu saja dengan meninggalkan sepatah kata,

"Maaf!"

Aaaaaggggh, sialan...siaalaannn....!

Sebenarnya gue pengen mengamuk di kamar inii. Membanting sesuatu kalau perlu. Seperti di film-film itu lho. Dimana si tokoh utama dengan gampangnya membanting barang-barang mahal di dalam kamarnya. Lemari, TV, Kulkas, dispenser, magic jar dan spring bednya itu habis dibanting dan ditendang. Tapi gue apa yang mau dibanting? Wong di kamar ini cuma ada kasur doank plus komputer tua yang sering ngeheng ini. Hff! Sebel!

Ujung-ujungnya gue hanya bisa menatap layar pentium 4 ini. Orang sudah memakai laptop, notebook, netbook, atau yang paling keren, macbook, sedangkan gue, masih bertahan dengan komputer tabung yang besar kepala itu. Layarnya pun cuma 14 inci. Biasalah genk, masalah klasik, ekonomi belum merata di bumi nusantara ini. Huh!

Anyway, gue sudah lari kemana-mana! Back to topic, ternyata gini banget yach rasanya putus cinta. Seperti kata Anang, separuh jiwaku pergi! Hellow, untung deh gue kaga' kehilangan semua jiwa gue! Ga' kebayang dah, kalau gara-gara cinta gue tewas. Dan gue harus move on! Hiks hiks hiks! Nulisnya sih gampang, M O V E - O N, tapi ngelakuinnya itu sesusah gue buang hajat yang keras karena kebanyakan makan jambu biji! Hukkk...! Sampai berdarah-darah baru dah itu boker keluar. Astaga!

KEMBALI KE LAPTOP! PLOK PLOK PLOK!

Kalian pasti penasarankan, siapa cewek cantik yang lagi curhat kaga' jelas ini? Perkenalkan nama gue, PRAMESWARI, nama yang cantik tho? Kalian pasti kagum kan dengan nama gue? Tapi percayalah teman, gue sebenarnya kurang sreg ketika orang memanggil gue. Kadang mereka memanggil gue PRAM, atau WARI! Hello, panggilan apakah itu? Pram itu untuk cowok, untuk yang berbelalai (red-sensor), sedang kan gue? Gue asli cewek cantik, berambut panjang, berbibir merah tipis dan berbadan sexy. Sedangkan WARI, oh em ji, tinggal kalian tambahin A aja di belakang, jadilah "WARIA!" Oh my kuali, my panci, my dandang! Gue sering menangis dalam hati ketika orang memanggil gue demikian. Jadinya, gue mikir apa panggilan yang bagus buat gue. Dan here we go, "MEME". Rasanya panggilan itu lebih manusia dan lebih kecewek'an. Dan gue selama ini, enjoy aja dipanggil demikian, MEME, sesuatu banget yach! Asal kalian ga' nambahin huruf kurang ajar di belakang nama panggilan gue tersebut! Kalau sampai kalian ngelakuin itu, siap-siap aja, BACOK!

Oke, demikian perkenalan dari gue. Selanjutnya kalian akan gue curhatin setiap hari. Hiks!

Judul cerita gue ini, A Girl Without Love, bukan gue sok-sok kebaratan, tapi biar keren aja gitu dan kamu-kamu atau elu-elu pada interest bacanya. kalau di bahasakan, jadinya JOMBLO! Hiks hiks... ngenes banget dah nasib gue! Selama tiga tahun gue hidup dalam kebahagiaan, sekarang gue hanya jadi tukang cengo! Jadi orang yang suka melamun dan susah untuk melupakan masa lalu yang penuh warna.

Ohhh masa lalu, inilah masa lalu...!

Kalau gue terusin bisa-bisa gue jadi joged beneran ini. Gue ini tipe orang yang setia pada satu pasangan. Seperti Romi dan Juli, gue berharap hubungan gue bakalan abadi dan romantis gitu tapi dengan ending yang tidak mengerikan seperti kisah jadul baholak itu. Kenyataannya, malah lebih tragis kisah percintaan gue, diputus hanya karena BOSAN. Huhu, mau dikemanain kemaluanku ini? Aku malu, aku malu, aku malu! Asyek!

Hufff...

Gue kalau suntuk emang begini, sering ngelantur kemana-mana. Kalian bayangkan saja, dua hari gue mendem di kamar! Tanpa mandi, tanpa ganti baju, tanpa ganti kolor! Bisa kalian bayangkan betapa asemnya badan gue? Dan kalian, bisa gue pastikan bakalan menjauh dari gue ketika gue ajak ngomong. Nafas gue sudah setara dengan bau kakus yang hampir meledak. Menjijikkan! Dan itu semua hanya karena cinta! Huhu!

"Oi, Wari! Mandilah kau! Sudah baun limbah pabrik badan kau tu! Putus cinta sih putus cinta, tapi masa' kau mau merusak imej kau nan sudah rancak itu?"

Kalian tahu siapa yang barusan berkicau? Amak gue! Dan dia masih saja memangggil gue dengan panggilan mengesalkan itu! Sudah dua hari ini juga dia getol menyuruh gue mandi! Coba kau bayangkan, coba kau rasakan, tanya bintang-bintang, buat apa gue mandi coba? Buat apa gue dandan cantik, tampil sexy menawan dan memikat hati, kalau status gue sekarang ini Cuma, Jomblo? Hiks hiks hiks.

"Cepatlah kau mandi! Atau Amak kunci saja kau di dalam kamar ini. Biar membatu sekalian bersama cicak-cicak di dinding!" Amak sudah berdiri di belakang gue yang masih saja sibuk mempelototin layar komputer gue.

Gue diamin tuh si Amak.

"Hoi Wari, lai kamu dengar ucapan Amak? Mau jadi anak durako kamu?"

Gue menoleh ke belakang dan PLETOK!!!

Sanduak nasi sudah mampir di kepala gue. Gue menjerit setinggi langit, darah berceceran dan berhamburan dari kepala gue yang ditokok amak dengan sanduak nasi. Dan dalam hitungan menit gue terkapar di lantai dengan darah yang terus mengalir membasahi wajah cantik gue. Lebay!

Pletok!!!

Kembali kesadaran membawa gue dari alam mimpi.

"Melamun dan melamun saja kerja kau tu Wari! Kalau sampai aku bertemu dengan mantan pacar kau tu, aku cukur habis bulu keteknya! Biar loyo seperti si Samson Betawi itu! Panas hatiku melihat anakku merana seperti ini! Hiks...hiks..hikss! Apa dia tidak tahu, bagaimana susahnya aku mengandung kau Wari, membesarkan kau dan memberikan yang terbaik buat hidup kau! Ondeh Wari eee, co iko bana nasib kau Wari! Huhuhu!" seperti drama Korea, Amak memeluk tubuh gue erat. Dan gue menyandarkan kepala gue ke dadanya yang sudah peot dimakan usia. Mau mimik, Mak! Astaga, kemana akal dan pikiran gue! Hfff.

Tapi tibat-tiba Amak melepaskan pelukannya,

"Naudzubillah! Bau' kau tidak lagi seperti bau manusia Wari! Onde mande, pekak hidungku mencium baun kau tu!" dan tanpa dikomando, Amak melangkah keluar secepat yang dia bisa. Meninggalkan gue yang memandangnya dengan ekspresi manyun. Tega!

Ya udah deh, gue mau bengong doeloe....

bersambung...